Perjalanan ke Timur


Butuh beberapa hari untuk mengistirahatkan tubuh ini. Jujur saya lelah fisik, lelah batin, lelah hati dan lelah dompet. Peristiwa yang bakalan tidak akan terlupakan seumur hidupku. Perjalanan yang sedikit mengubah alur kehidupanku di kehidupan mendatang, ciyeee dramatisir. Langsung saja ini ceritanya:
Prolog:
Hari Sabtu, tanggal 6 Juni 2015, teman saya Tutycha F. Karisma X 125 melangsungkan pernikahan pertamanya di pelosok Rembang. Kemarin mendapatkan undangan darinya. Mungkin kalau sebatas lewat ucapan atau selembar kertas kosong bisa kita abaikan atau katakanlah kalau menyumbang bisa dititipkan. Masalahnya kemarin dia memberikan undangan sembari memberikan sebungkus roti di dalamnya. Ini mah namanya penyuapan dan sedikit pemaksaan harus datang. Kalau gak datang ya kebangeten, wis diwenehi roti.

Sedikit ada kebimbangan ketika hendak berangkat. Mau pakai motor atau umbal bus? Kalau naik bus katakanlah dari rumah ke Grobogan habis 5rb, Grobogan ke Pati habis 15ribu, Pati ke Rembang habis 10ribu, belum lagi dari Rembang ke desa Ticha yang jauhnya Naudzubillahi Min Dzalik jika ditempuh dengan ojek, bisa jebol ini dompet.

Itu baru perjalanan berangkat belum lagi perjalanan pulang, bisa dibayangkan sendiri berapa dollar harus saya keluarkan untuk itu semua, hahaha. Akhirnya saya putuskan pake Grand Astrea Patah Hati sebagai kawan perjalanan. Paling PP habis bensin 50ribu buat beli bensin. Untuk perjalanan nanti harus menempuh 2 Kabupaten, Kab. Pati dan Kab. Rembang.
*****
Singkat perjalanan, aku hendak masuk ke Kabupaten Pati. Ndelalah ada operasi Ketupat Candi dari polisi lalu lintas. Padahal motor Ninja saya itu sudah mati pajak 5 tahun (jangan ditiru ya). Maklum motor tidak pernah ke luar kota, mentoknya juga ke Grobogan. Mengetahui keadaan tersebut aku was-was dan bimbang setengah mati. Kalau diberhentikan dan ditanya surat-surat dan tahu kalau STNK mati 5 tahun bisa berabe ini. Akhirnya saya teringat ajaran Lukman, katanya kasih senyum semanis mungkin ke polisi.
Aku manis-maniskan senyum ke polisi yang berjejer rapi di pinggir jalan. Alhamdulillah polisi satu terlewatkan. Masih ada dua polisi yang menanti.
"Monggo pak," mungkin itu yang bisa dijabarkan dari makna senyumanku.
Dan alhamdulillah Pak Polisi tidak menghentikan sepeda motorku. Entah tadi karena senyum manisku atau karena melihat sepeda motorku yang butut. Tak apalah yang penting sudah lolos.
Perjalanan ke timur aku lanjutkan. Motor ninja ini aku paksa untuk mengeluarkan tenaga maksimalnya. Tapi ya tetap saja kalah sama motor-motor keluaran terbaru. Tetap disyukuri.
Sesampai di alun-alun Rembang aku bingung mau lewat jalan mana. Karena ini adalah kali kedua aku ke Rembang setelah pertemuan pertamaku dengan Ticha dulu. Di surat undangan Ticha juga tidak ada denahnya pula. Mateng rak kowe!! Yang aku ingat hanya jalan ke jalur dulu ketika ngedos.
Akhirnya saya putuskan memakai petunjuk Google Maps. Alhamdulillah setidaknya ada secercah harapan petunjuk. Dan akhirnya aku pun sadar bahwa apa yang dipilih akan memblansakkan dan menyengsarakanku. Google Maps menunjukkan untuk jalan terus.
"Selanjutnya lurus 3km," ujar si Mbak Google Maps, karena kebetulan suaranya cewek.
Lurus terus, meski di dalam hati ini mulai tidak percaya arah jalannya. Semakin lurus semakin aku tidak mengenal daerah ini.
"300m belok kiri," begitu si Mbak Maps memberikan intruksi.
"Belok kiri kemana? Belok kiri ndasmu!! Lha wong gak ada belokan? Ngaco ini si mbak!" jawabku protes atas instruksinya. Aku putuskan untuk terus lurus. Semakin lurus aku semakin merasa tersesat. Beneran ini daerah yang asing bagiku. Jalannya kecil, aspalnya sudah mengelupas, kiri kanan yang ada hanya pepohonan dan tanaman tebu.
"Makanya percaya intruksi yang aku berikan!" tiba-tiba Mbak Mapsnya gantian protes.
"Percaya mbahmu kui Mbak! Jelas-jelas kalo gak ada belokan disuruh belok. Belok nek hatimu??" aku tak kalah menyangghnya.
"Halah mboh, ngandani kok kowe. Mending aku turu!" si mbaknya malah ngambek.
Aku putuskan untuk bertanya kepada seorang warga pribumi.
"Maaf Pak, mau tanya arah Desa Kerep itu kemana ya?" tanyaku kepada bapak-bapak yang ngemong anak kecilnya.
"Desa Kerep mas? Desa mana ya mas itu? Kok baru denger saya?" jawabnya dengan seenak udelnya.
Ladalah, sebenere yang tidak terkenal itu Desa Kerep atau memang bapaknya yang tidak terkenal? Atau jangan-jangan aku yang salah bertanya pada orang yang salah.
"Kalo Sulang pundi Pak??" aku pun tidak habis akal.
"Oo...Sulang, jalan ini lurus terus mas," jawabnya sembari menunjukkan arah jalan.
"Suwun nggih Pak!"
Aku lanjutkan perjalanan kembali. Jalan yang aku lalui masih tidak jauh berbeda seperti jalan sebelumnya. Malah ini semakin pelosok dan hanya hamparan sawah kanan kirinya. Ya Allah, aku ini jan-jane neng ndi? Iso tekan Kerep ora yo? Aku bahkan sudah pesimis dengan perjalananku. Belum lagi Si Mbak Maps yang ngoceh mulu dari tadi. Belok kiri, belok kanan, lurus lanjutkan, padahal juga belum ada belokan di depan. Ngajak gelut tenan si Mbak siji iki.
Pamotan. Begitu kata yang aku baca ketika melintasi sebuah kelurahan. Modyar kowe kok iso tekan Pamotan.

"Ya Allah panase jan..." aku mbatin dalam hati.
"Le, panas dunyo durung sepiro panase ning neroko," eng ing eng tiba-tiba ada suara kakek-kakek di telinga saya.

Aku sudah pasrah lillahi ta'ala tidak bisa keluar dari perjalanan bodoh ini. Pesimis sudah dengan semuanya. Tetapi entah mengapa ada secercah harapan. Aku semacam de javu dengan jalan raya ini. Jalan raya Rembang-Blora yang dulu aku lewati ketika pulang ngedos. Ya. Memang ini jalannya.
Alhamdulillah ketemu juga jalannya.
"Lurus terus 3km," saran Mbak Maps
Jiangkrik, iseh adoh men yo yo. Bensin yang aku perkirakan hanya habis 50ribu membengkak, karena jarum bensin sudah di tanda merah E. Piye perasaanmu Cha??
"200m belok ngiri, lurus 2km lagi,"
Lha iki jalan sing dulu ke rumahe Ticha. Lagi-lagi aku harus melewati sebuah hutan untuk sampai ke Desa Kerep, tetapi setidaknya jalannya sudah benar. Alhamdulillah Ya Allah! Terdengar dari kejauhan suara pembawa acara pernikahan.
"Kanggo Mas Jawawi dan Dik Tutycha Fibrian Karisma........"
Senyummu mengembang, sampai juga.
*****
"Oalah namanya Jawawi to. Kok di undangan ditulis Jay. Jauh banget dah, hahaha" aku mbatin dalam hati.
Aku dipersilakan masuk ke dalam rumah. Karena kebetulan Ticha dan Mas Jawawinya masih duduk di kursi pelaminan. Entahlah apa nama acaranya. Yang pasti aku sudah nyampai di TKP dan berharap segera dapat asupan makanan. Karena jujur saja perjalanan menyesatkan tadi menguras seluruh daya energi. Haus dan lapar.
Aku duduk di ruang tamu, duduk lesehan di tikar. Terlihat beberapa cewek berkumpul lebih dahulu di ruang tamu. Dan yang laki-laki hanya aku seorang. Tak apalah, lagian aku juga tidak kenal mereka.
Setelah menunggu beberapa menit, keluarlah seorang ibu-ibu membawa kotak snack.
"Alhamdulilah keluar juga makannya. Tapi kok kotak snack kecil? Tak apalah paling juga isinya nasi ayam, hahaha" lagi-lagi aku membatin.
"Monggo mas," ujar ibunya meletakkan kotak snack di depanku. Aku mengangguk dan melihat di depan cewek-cewek yang datang duluan tadi ada beberapa teh botolnya. Lha aku kok gak dikasih? Hahaha. Glekkk, hanya air ludah yang aku telan.
Ketika aku buka kotak nasinya. Astaghfirullah, isinya cuma kacang tanah, arem-arem, jeruk, roti kecil dan air kemasan. Kemana nasinya ini? Kemana??? Kemana Cha?? Tak sesuai yang dibayangkan.
Mau protes sama ibu-ibu tadi juga sungkan. Mau minta teh botol juga sungkan. Akhirnya dengan terpaksa saya makan arem-aremnya, jeruk dan minum air kemasan tersebut. Sambil melirik teh botol di sebelah yang masih penuh, siapa tahu rasa airnya berubah jadi manis. Resiko anak seberang negeri nyumbang ya gini. Gak dikenali dan dinjarke garing, hahahaha piisss Cha.
Aku cek HP siapa tahu bikin status atau apa kek. Sialnya, ternyata sinyalnya bertanda silang. Jangan-jangan aku lagi di dunia lain?? Jangan-jangan tanah yang aku injak ini sudah ikut negara lain, bukan Indonesia, hahahaha. Gak iso opo-opo maneh.
Suasana makin membuatku muak dengan ulah para cewek di sebelahku yang narsisnya amit-amit. Mereka tanpa malu-malu di depanku pamer pose. Bibirnya dimajukanlah. Pose miringlah. Posisi nemplok di dindinglah. Pose tanganya hormat jinjay di kepalalah. Ya Allah ujian apalagi ini buatku. Aku lihatnya yang muak dan jijik. Belum masalah nasi kelar, aku disuguhi perilaku anak muda yang amit-amit jabang bayi kurang kunci.
********
Akhirnya masuklah seorang laki-laki dengan pakaian hitam. Duduk di sebelahku langsung. Kalau dilihat dari apa yang dibawa sepertinya salah satu crew fotografer yang disewa Ticha. Entah kelelahan atau memang acara foto-foto sudah selesai.
"Temannya Ticha Mas?" tanyanya sambil mengulurkan jabat tangan.
"Iya Mas. Andre!" jawabku sambil menyambut jabat tangannya.
"Somat!" balasnya
Setidaknya ada teman obrolan daripada harus melihat suguhan di depanku yang membuat mataku perih.
"Kalau aku lihat kok bukan asli Rembang ya Mas?" dia membuka obrolan kembali. Aku mengangguk dan heran.
"Kok tahu Mas?"
"Tahulah Mas. Dari wajahnya bukan wajah Rembang dan tadi lihat motor platnya bukan KD atau KM, hahahaha" oalah jebule lihat pas aku datang.
"Wanita memang misterius ya Mas?" aku heran mendengar pertanyaannya.
"Hahaha, jangan heran gitu Mas. Aku dulu pernah berhubungan dengan seorang wanita. Sejak lulus SMA aku sudah menyukainya. Akhirnya aku putuskan untuk menemui orangtuanya mengutarakan keinginan untuk berhubungan serius dan siap membiayai semua keperluan kuliahnya nanti. Selama kurang lebih empat tahun aku LDR dengannya, Semarang dan Jogjakarta. Setiap bulan bayaranku aku kasihkan ke dia untuk biaya SPP dan kuliahnya,"
Mas Somat menarik nafas berat menceritakan kisah percintaannya, aku hanya mendengarkan saja tanpa berkomentar.
"Tetapi beberapa bulan kemarin ada perubahan sikapnya. Mas tahu ketika kita bisa mempelajari ilmu telepati, kita bisa merasakan perubahan dari pasangan, atau sekarang lebih disebut kepekaan. Aku pun sudah merasakan dari dia. Pernah dia salah kirim sms. Aku tanya apa ini tidak salah kirim? Katanya sih tidak. Akhirnya aku berpikir dan merenung, apa yang harus aku lakukan dengan situasi seperti ini...." seolah melontarkan pertanyaan kepadaku.
Aku hanya menggelengkan kepala tidak mengerti. Setidaknya aku terhibur di rumah yang puanas karena Ticha tidak menyertakan kipas angin di rumahnya. Duhhh Cha, Cha......
"Aku putuskan ke Semarang, aku bersikap seolah tidak apa-apa. Aku ajak dia jalan ke mall. Aku ajak makan, beli es krim. Ketika kita sama-sama kenyang, aku utarakan niatku yang sebenarnya. Aku serahkan gajiku kepadanya untuk biaya kuliahnya. Dik, ini untuk biaya kuliahmu. Tapi mohon maaf mungkin ini uang yang terakhir. Mungkin aku yang tidak bisa menjaga suatu hubungan, maaf jika aku selingkuh. Dia hanya diam. Aku tahu kalau dia akan menangis. Akhirnya dia menceritakan semua perselingkuhannya dengan teman satu kelas. Bayangkan Mas, mereka selingkuh selama kurang lebih 2 tahun. Piye perasaanmu nak dadi aku??"
Ada rasa empati dariku kepada Mas Somat, betapa dia begitu tegar. Aku tepuk punggungnya sebagai bukti ikut merasakan apa yang dia rasakan. Dan ternyata ada yang lebih parah kisah cintanya daripada saya, hahaha. Dia memberikan ilmu, kembalikan semua rasa salah pasanganmu ke dirimu. Seolah-olah kamulah yang melakukan kesalahan. Maka pasanganmu akan berterus terang. Apa iya sih? Tak tahulah, yang pasti perutku masih keroncongan belum terisi.
Beberapa laki-laki dan perempuan datang masuk membawa kado. Ada juga yang mengendong bayinya. Sepertinya teman Ticha dari jauh juga. Apa yang aku harapkan ternyata terealisasi juga. Makannya keluar juga. Alhamdulillah ya Allah Kau kabulkan doa hamba, hahaha.
"Monggo mas dimakan dulu. Kelihatannya kok kayak belum makan dari tadi," ajak Mas Somat.
Asem, pancen mas! Ket mau dienteni gak ndang-ndang metu mangane, hahaha. Nasi gulai kambing sudah habis tersantap. Kata Ticha aku makannya cepat banget. Bagiku makan itu tidak perlu dimamah selembut mungkin nanti malah cepat lapar, hahaha.
"Mas seorang wanita kalau selalu mengelak menjawab tidak, tidak dan tidak. Kemungkinan besar kenyataannya malah Iya. Mereka hanya menutupi apa yang ada. Itulah keunikan dari wanita, mereka sangat rapi dalam menutupi apa yang dirasakan sendiri dalam hati. Dan kalau sebenarnya kita peka sebagai pria dapat mengetahui wanita tersebut berbohong apa tidak?"
"Caranya bagaimana Mas?" akhirnya aku berani mengomentari sekaligus bertanya kepadanya. Akhirnya Mas Somat membisikkan sesuatu di telinga saya. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasannya. Ouh begitu caranya.....
Obrolan kami harus usai ketika dia harus melanjutkan tugasnya nyuting pernikahan Ticha. Ada cucuk lampah (laki-laki yang berdandan ala wanita) yang mengajak sepasang pengantin masuk ke rumah. Biasanya sih mau ganti baju pengantin. Ckckckck, ganti baju pengantin saja kok repot segitunya.
Setelah berganti baju, gak perlu aku ceritakan proses pergantiannya bajunya juga di sini. Pokoknya sepasang pengantin Mr. & Mrs. Cap Jay sudah standby lagi di kursi panas, hahaha.
*****
Prosesi selanjutnya adalah foto-foto untuk para tamu undangan dengn pengantin. Sebenarnya di depan rumahnya ada panggung besar. Ketika datang tadi ada pengajian dari salah satu kyai. Lucu sih tapi kok materinya sudah sangat familiar di kuping, plek pengajiannya Pak Anwar Zahid. Setelah pengajian selesai tiba-tiba ndelalah kok sudah muncul 3 biduan dangdut beserta perlengkpannya. Lha iki sing tak tunggu-tunggu sebenarnya. Tapi sayang biduannya sudah uzur semua, jadi aku tidak begitu tertarik.
Akhirnya aku putuskan untuk foto-foto dengan Ticha dan Mas Jawawi. Setelah itu merogoh saku, ngambil amplop dan menyerahkannya. Jangan lihat nominalnya ya Cha, yang penting lihat history mengenaskannya di balik ini semua. Lagian aku juga gak enak harus menyebut nominalnya di sini, hehehehe..... Tahulah berapa, hahahaha.
Aku berharap ketika pulang dari nyumbang -kalau di daerah saya, ini kalau di daerah saya sih- ketika pulang akan membawa berkat, snack atau apalah. Lha ini, kagak dapat apa-apa saya. Tahu gitu snack tadi aku bawa pulang gak aku makan, hahaha. Cuma dapat souvenir asbak bolong yang gak bisa dimakan Lagian aku juga gak merokok, kenapa dikasih asbak?? Hubungannya apa coba Cha?? Cha servismu gak jossss og, hahahaha.


Tapi ya sudahlah aku terima dengan lapang dada. Pada intinya ini semua demi kebahagiaan mereka berdua. Dan tidak lupa seperti doa-doaku sebelumnya, semoga tidak ada kekhilafan di antara mereka berdua. Terutama dari pihak laki-laki tidak khilaf memilih teman hidup. Aku takutnya pas bangun pagi harinya, Mas Jawawi kaget dan syok melihat seorang wanita tak begitu cantik tergeletak tidur di sebelahnya. Dia reflek menarik selimut menutupi dadanya yang berbulu dan beringut ke dinding kamar, "Siapa kau sebenarnya? Dimana aku ini?" Hahahaha aku malah membayangkan yang tidak-tidak. Sudah sudah sudah, itu hanya khayalan bohong!!!
Selamat menempuh hidup baru kepada Tutycha dan Mas Jawawi. Kenapa aku memanggil Mas karena memang rentang usia kami terpaut 'lumayan' jauh, hahaha. Semoga jadi keluarga yang Sakinah Mawadah dan Warohmah. Aamiin.
Jangan tanya kapan aku nyusul?? Karena jodohku mungkin masih otewe, hahaha.
Dan kisah ini dimulai dari sebuah roti dari Ticha.
Salam Macul.....
(Mas Jawawi -jeneng kok jawawi, hahaha- aku siap mbantu kalo lelah macule, wkwkkwkwk)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon